Breaking News

Senin, 15 September 2014

Agama Penuh Warna

oleh: Agung Senjoyo dan Fadli Sabran*
Purwokerto adalah salah satu daerah yang memiliki masyarakat heterogen dengan kultur masyarakat yang berbeda-beda. Purwokerto juga memiliki masyarakat yang saling hidup rukun antar sesama umat beragamanya. Hal ini, dibuktikan dengan adanya beragamnya tempat ibadah. Masyarakat pun turut mendukung didirikannya tempat ibadah di lingkungan mereka. Karena semua itu adalah hak dan kebebasan bagi umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing.
Di purwokerto itu sendiri juga terdapat  bangunan klenteng  hok tek bio untuk tempat ibadah bagi masyarakat yang minoritasnya keturunan tionghoa. Bangunan itu letaknya di sekitaran pasar wage yang berdampingan dengan pertokoan penduduk di sana. Di dalamnya juga terdapat filosofi yang menggambarkan karakteristik dari klenteng tersebut. Ketika akan memasuki pintu masuk, kita di sambut dengan althar than  dan  nampak papan nama Bio dalam Hanzi. Di bagian dalam pun tidak kalah menariknya, ada berbagai althar dewa salah satunya adalah althar Ngo Tjoo, Nabi Khongcu, Datuk, Liem Thay Djien. Semua dewa tersebut memiliki perannya masing-masing.
Sesuatu yang unik dari masyarakat Tionghoa memiliki dua nama yaitu Indonesia dan nama China atau mandarin. Di situ juga banyak pesembahan untuk dewa. Pada masa orde baru pun banyak masyakarat keturunan Tionghoa  yang di diskriminasi untuk tidak boleh bekerja di instansi pemerintahan karena pada masa itu masyarakat Tionghoa di larang keras atau di batasi untuk bekerja oleh pemerintah. selain itu masyarakat Tionghoa juga memiliki toleransi yang tinggi dengan lingkungannya dan juga saling hidup rukun dalam menghargai umat beragama.
Selanjutnya di tempat beribadahan bagi umat Kristen Khatolik Purwokerto yaitu Gereja Katedral “kristus raja" tepatnya di daerah Purwokerto.  Tujuan dari pembangunan gereja Katedral itu sendiri di peruntukan untuk umat khatolik di kawasan Purwokerto yang notabenenya cukup banyak. Uniknya, Gereja katerdral di indonesia masih sedikit dan di jawa tengah hanya ada dua yaitu di semarang dan di purwokerto saja. Gereja Katedral di purwokerto memiliki corak jawa di bagian dalamnya seperti papan ukir (gebyok) di belakang altar (mimbar). Di berbagai gereja khususnya gereja katedral, pastinya ada sebuah ruangan yang dimaksudkan untuk membaptis atau memberi nama suci pada seseorang yang belum memilikinya. Uniknya lagi, orang-orang yang non-katolik diperbolehkan masuk kedalam tempat peribadahan mereka. meskipun beda agama, tetapi mereka juga memiliki keramahan dan jiwa toleransi yang tinggi terhadap agama lain.
Ada pula tempat beribadahan bagi umat budha di purwokerto berupa vihara yang dinamakan dengan Vihara Budha Dipa. Lokasinya di JL. Martadireja, No. 779-781, Purwokerto. Masyarakat disana dapat hidup rukun dan dapat saling berdampingan dengan umat budha yang beribadah disana. Karena dulu pada masa reformasi, masyarakat purwokerto di sana sudah sangat kekeluargaan sehingga masyarakat tidak terprofokasi oleh gangguan dari luar. Sehingga vihara di purwokerto pada saat ini masih aman bagi umat budha yang ingin beribadah di sana. Klenteng dan vihara sendiri memiliki perbedaan, kalau klenteng hanya tempat meminta kepada tuhannya, sedangkan vihara digunakan untuk meminta dan beribadah juga. Terkadang dari pihak vihara sendiri mendatangkan biksu dari suatu daerah karena di Vihara Budha Dipa tidak memiliki biksu tetap untuk mengadakan penerangan kepada umatnya. ketika ada sebuah acara meditasi di Vihara, uniknya itu semua agama boleh datang untuk menghadiri acara meditasi di Vihara tersebut. Tak pernah sekali pun umat budha melarang siapapun untuk datang ke vihara  karena semua itu adalah kebebasan umat beragama.
Tempat beribadah selanjutnya di Gereja Santo Yoseph, lokasinya di daerah Jl. Kaliputih 2, Purwokerto timur. Sebagian besar masyarakat di sana yang beragama katolik, beribadahnya disana setiap hari minggunya. Pastur atau romonya di sana pernah kenal juga dengan Gusdur untuk membahas tentang usulan dari Romo yang bernama Matheus Yatno Yuwono untuk mengadakan sebuah acara keagamaan. Bupati daerah tersebut juga kurang respon dengan keperluan dan kepentingan keagamaan, menurut pengakuan dari Romo atau pastur di sana juga. Sedangkan artistic dari bangunan Gereja Santo Yosep, memiliki corak yang hampir sama dengan gereja-gereja besar diseluruh daerah. Tapi uniknya, ada sebuah tempat yang petugas potretnya dilarang keras untuk mendekati atau pun memotret disana. Toleransi umat katolik di gereja tersebut juga sangat tinggi, terutama dengan masyarakat disana. Ketika ada seseorang yang menganggur dan tidak bekerja, pihak gereja memberikan pekerjaan bagi mereka yang tidak bekerja seperti bekerja dibagian cleaning service atau keamanan. Tidak memandang agama yang di anut mereka.
Ternyata masyarakat di Purwokerto saling hidup rukun dengan berbagai keanekaragaman budaya dan agama. Dan juga tidak ada yang mencirikan agama yang satu dengan yang lain. Karena semua sama walaupun agama yang membedakan akan tetapi beda itu yang membuat indah dalam menjalankan hidup dengan penuh warna.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik angkatan 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By